Monday, May 19, 2008

Aurora di Pelupuk Mata

by: nRy

Hanya ada warna hitam membayang di matanya. Tetapi, keterbatasan sama sekali tidak menghalangi langkahnya untuk terus berkreasi. Keinginan, harapan, angan, diramunya menjadi konsep, ide. Itulah Eko Ramaditya Adikara (26), yang kini mampu mewarnai dunia maya di negeri ini.

Pengetahuan demi pengetahuan terus mengisi lapisan-lapisan otaknya. Bahkan, pengetahuan dan pengalaman hidupnya tak kalah dibandingkan orang normal seusianya. Rama, panggilannya, justru menganggap cobaan yang ia hadapi adalah berkah.

Rama ditemui SP di Aula D Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam acara hari internasional penyandang cacat beberapa waktu lalu. Dengan ramah ia menerima, dengan tulus ia bercengkerama. Sama sekali ia tidak mengeksklusifkan diri sebagai seorang penyandang cacat. Meminta diperlakukan istimewa, misalnya.

Terhindar dari berbagai dosa mata, tak lantas membuat hatinya bangga. Rama berjuang dua kali lebih keras daripada orang normal pada umumnya. Bergumul dengan waktu, bersemangat tanpa melarutkan pilu.

Berawal dari kebutaan sejak lahir, Rama diajarkan oleh orangtua agar hidup mandiri. Kasih sayang berlimpah lantas tak membuatnya buta keadaan. Belajar demi masa depan lambat laun mengantarkannya ke realitas hidup lebih keras dari yang dibayangkan.

Penolakan adalah hal umum yang disikapi Rama dan keluarga dengan lapang dada. Menerima apa adanya bukan berarti ia tidak berusaha mencoba. Keteguhan hati dan dukungan keluarga mulai dari masalah pendidikan dan kebutuhan teknologi disikapi dengan arif dan bijaksana.

Tak terhitung sudah guru-guru yang turut serta membangun kepercayaan diri Rama. Waktu memang tak dapat digenggam, akan tetapi ingatannya tetap kuat tak lekang waktu. Lilis, Tarno, Tati, dan guru-guru lain yang tak sempat disebutkan namanya mengalir lancar melalui celah memori masa lalu lelaki muda penuh inspirasi ini.

Didikan para guru turut serta memberi dampak positif di kemudian hari. Lelaki lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Darma Persada, Jakarta ini, berhasil keluar dari keterbatasan fisik dan berkembang menjadi manusia tahan banting.

Lima Pekerjaan

Sebagai manusia biasa, ada saat di mana sisi gelap muncul tanpa tertahan. Egois, gampang putus asa, menyerah, munafik, umpatan kalau ada yang membuatnya marah, terkadang keluar dari sisi negatifnya.

Buka saja salah satu artikel di blog-nya yang berjudul "Ketika Aku Hampir Menyerah". "Pernahkah kalian berada pada saat-saat paling menyedihkan dalam hidup kalian? Saat yang dimaksud adalah ketika kita merasa bahwa cobaan hidup yang diberikan Tuhan sudah tak lagi bisa kuhadapi. Di saat itu yang ada hanyalah rasa putus asa, dan keinginan yang hilang untuk terus berjuang dan mencoba ..." Tulisan itu ia tujukan untuk diri sendiri, juga untuk seseorang, katanya, yang menghadapi hal yang sama, yang menghadapi kesulitan menghadapi jalan keluar dari "penderitaan" yang dihadapi.

Tulisan itu terselip di antara 41 artikel yang ditulis di blog-nya, di antara artikel-artikel lain yang menggambarkan semangat dan pencapaiannya, seperti "Ikut Pelatihan Jurnalistik Online", atau "Ramaditya on SCTV".

Namun, segala kekurangan tak menghantui untuk tetap maju. Sisi gelap itu adalah alat bagi Rama menginstropeksi diri. Ia dengan tulus meminta sumbangan kritikan dengan tujuan memperbaiki diri.
Jika ada sisi gelap, tentu ada sisi terang. Bermodal kemampuan teknologi informasi yang dipelajari sejak kecil, Rama mampu mendobrak tatanan dalam masyarakat yang antipati terhadap penyandang cacat.

Saat ini ia mempunyai lima pekerjaan yang dapat menafkahi lahir dan batin. Ia melakoni pekerjaan sebagai kolumnis lepas di www.detikinet.com, kolumnis majalah telepon seluler, teknisi teknologi informasi di Cuisine Club, perakit komputer sekaligus jual beli komputer dan laptop bekas, serta yang paling menakjubkan adalah menjadi salah seorang penata musik video games Nintendo dari Jepang.

Kemampuan tanpa didukung keberuntungan dan kerja keras tak akan membuat Rama seperti sekarang ini. Ia mengakui sejak awal bekerja mendapat atasan yang memiliki tingkat kesadaran tinggi tentang penyandang cacat.

Pertama kali menjadi jurnalis, Rama mengaku tak ditanya mengenai bagaimana orang buta dapat menulis. Justru, ia ditanyai tentang contoh hasil karya jika ingin menjadi penulis. Setelah mereka melihat hasil karyanya dan mendapat restu, ia mulai menyumbangkan tulisan dan berkarya.

Karya tulisan Rama telah dimuat dalam situs dan majalah yang disebutkan di atas dan mulai sejak itu ia aktif memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Orang-orang di tempat kerjanya baru mulai menanyakan cara kerja lelaki ini sesudah membaca tulisan Rama. Ia dengan sigap menjawab pertanyaan yang mungkin berkecamuk di pikiran orang-orang itu dengan jawaban singkat, "Ini semua karena hobi menulis dan teknologi."

Kalau mengenai teknisi teknologi informasi dan perakit komputer, Rama menceritakan awal bagaimana ayahnya kerap membawa Rama kecil untuk mengenal perangkat komputer dan perangkat lunaknya. Dari situ, ia mulai menggemari dan mendalami secara otodidak tentang komputer.

Simbol Aurora

Perjuangan Rama tidak sampai di situ. Ia dengan kreatif menata musik untuk video games. Karya musik itu ia kirimkan ke berbagai perusahaan pengembang video games di luar negeri. Gayung memang tidak serta-merta bersambut. Tetapi, ia tidak patah arang.

Hasil dari usaha tersebut mulai dilirik pengembang game Squaresoft. Rama berkesempatan merilis "thank you project" (tanpa dibayar) untuk selama lima sampai enam tahun. Kemudian, ia menuai benih yang ia semai setelah diajak bergabung oleh komposer game Mario Bros Galaxy, Koji Kondo, untuk membuat musik pada Nintendo. Ia sendiri mengaku menggandrungi karya-karya game music composer Nobuo Uematsu, Yasunari Mitsuda, Yuki Kajiura, dan Motoi Sakuraba.

Pencapaian itu akan terus berlanjut. Ia ikut dalam penataan musik Nintendo untuk video games Super Smash Brothers Brawl yang dirilis 10 Februari 2008. Saat mencoba mengorek berapa yang ia terima dari Nintendo, ia tidak menjawab pasti. Dengan sedikit guyon penggemar Sherina, juga penggemar musik-musik new age Enya, Yanni, dan Kitaro, serta karya-karya klasik Mozart, Vivaldi, dan Debussy itu, mengatakan, "He he he, yah, cukuplah untuk mencicil rumah masa depan."

Keberadaan Rama mengingatkan pada sosok Stephen Hawking. Fisik ilmuwan fisika itu boleh saja terpenjara di kursi rodanya, tetapi berkat kemampuan otaknya memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi ia berhasil mengalahkan keterbatasannya. Begitu pula halnya Rama. Ia tak akan bisa hidup seperti sekarang ini tanpa bantuan teknologi.

Satu hal yang pasti, Rama mengubah stigma kalau tunanetra tak bisa hidup tanpa minyak gosok. Menjadi tukang pijat, meminjam istilahnya. Justru stigma sekarang yang melekat pada Rama adalah ia tidak bisa hidup tanpa bantuan teknologi.

Kegelapan tak menghentikan Rama mendambakan aurora. Simbol tersebut dipakainya karena ia ingin bersinar seperti cahaya yang keluar dari fajar (aurora). Bila dilihat dari pencapaian hidupnya sekarang, aurora itu akan terus bersinar laksana kilau surgawi. [Hendri Sutrisno/A-18]

Monday, April 28, 2008

Bangsa Indonesia Perlu Cermin

by: nRy

“Kaya dan berkedudukan mulia ialah keinginan setiap orang, tetapi jika tidak dapat dicapai dengan Jalan Suci jangan ditempati. Miskin dan berkedudukan rendah ialah kebencian setiap orang, tetapi jika tidak dapat disingkirkan dengan Jalan Suci jangan ditinggalkan.” (Lun Yu, IV; 5)

Penggalan sutra di atas pantas masuk ke dalam asas kehidupan bangsa Indonesia yang telah carut-marut karena dihantam badai korupsi. Bangga akan uang korupsi berarti menuai badai. Sejarah membuktikan kerajaan Majapahit hancur bukan karena diserang badai Katrina, kerajaan nan masyur itu runtuh karena badai korupsi. Pertanyaannya, apakah Republik Indonesia akan mengalakan korupsi sebagai gerakan nasional?

Korupsi memang indah karena bisa bikin kaya dalam sekejap. Sistemnya juga canggih karena penuh konspirasi sana-sini. Hebatnya lagi, Charles Darwin kalau masih hidup pasti akan geleng-geleng kepala. Ia bukan mau mencoba pil ineg sambil denger lagu house music untuk membuktikan ampuhnya pil yang akan merangsang sel serotonin dalam otak.

Dalam hatinya, Bapak evolusi ini cuma ingin kagum campur heran disebabkan kebenaran teorinya berjalan terbalik kembali ke zaman purba. Walaupun intinya sama, yang kuat makan yang lemah, tapi kalau di Indonesia manusia berubah menjadi monyet. Monyet pintar korupsi. Saking pandainya monyet itu bisa makan manusia.

Kalau di luar sana ada Bapak evolusi, Bapak demokrasi, atau Bapak Khonghucu, di Indonesia pasti ada bapak korupsi. Bapak ini memang susah ditangkap karena bisa menjelma menjadi monyet. Djenar Maesa Ayu menulis, ”Mereka bilang saya monyet.” Antek monyet Indonesia mengatakan, ”Saya bangga jadi anak monyet.”

Binatang ini memang sangat suci di Indonesia, lebih suci dari hewan suci Kilin yang diburu oleh Raja pada masa Konfusius atau Kong Zi merampungkan kitabnya. Kong Zi bertanya, ”Kenapa Kilin muncul?” Bapak korupsi alias bapak monyet menjawab, ”Monyet lebih berharga karena kitab monyet belum ada di dunia.”

“Dengan makan nasi kasar, minum air tawar, dan tangan dilipat sebagai bantal, orang masih merasakan berbahagia di dalamnya. Maka, harta dan kemuliaan yang tidak dilandasi kebenaran bagiku laksana awan yang berlalu atau mengambang.” (Lun Yu, VIII; 16)

Monyet di Indonesia tidak pernah makan nasi kasar atau minum air tawar. Di balik jeruji besi pun, para monyet tersebut bisa tidur dengan bantal anti salah bantal. Mereka juga hidup penuh mutu, miskin motto. Layaknya manusia, mereka bisa sesuka hati menggunakan gadget tercanggih di muka bumi ini. Penjara bukan batasan, hand phone seri terbaru beredar di mana-mana, kalau bosan tinggal mendengar ipod lagu manusia. Bisnis tetap lancar, semua keputusan bisa diambil melalui penjara buatan anak monyet.

Harta hasil korupsi tak mungkin habis tujuh turunan. Cukup dengan menengadahkan tangan, anak monyet mendapat warisan langsung lahap. Tak ada istilah harta dan kemuliaan dilandasi kebenaran karena kebenaran bagi mereka bersifat relatif dapat dibengkokkan, dan kemuliaan adalah mutlak. Semua harta dan kemuliaan masuk dalam versi “monyet tidak pernah salah” di pasal pertama undang-undang rimba korupsi. Jika ada kesalahan, mohon tinjau kembali pasal pertama.

“Kata-kata tidak senonoh akan kembali kepada yang mengucapkan. Kekayaan yang diperoleh secara tidak halal akan habis tidak karuan. Kebajikan itulah yang pokok dan kekayaan itulah yang ujung. Seorang yang penuh Cinta Kasih menggunakan harta untuk mengembangkan diri. Tetapi seorang yang tidak berperi Cinta Kasih menghambakan dirinya untuk memupuk harta.” (Ta Hsieh, X:10; 20)

Kebajikan bagi monyet dan anak-anaknya adalah yang ujung. Rumah ibadah didirikan dengan dalih berderma. Padahal, uang yang dipergunakan termasuk hasil korupsi. Kekayaan masuk menjadi pokok pemasalahannya. Orang kaya akan dipandang dari ujung kaki ke ujung rambut dengan tatapan mesra.

Tanpa dilema, “Cinta Kasih” diperbudak oleh harta. Lambang itu terus dipergunakan sebagai stempel kerajaan korupsi di dinasti monyet. Sungguh ajaib, ketika timbul kerajaan baru di negara Republik Indonesia.

Konyolnya, monyet semakin larut dalam kemandirian cinta harta. Tanpa mengindahkan penghormatan kepada orang lanjut usia, pembinaan generasi muda dengan kasih sayang, dan bisa dipercaya oleh kawan atau sahabat, semua dilibas habis demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Kepalsuan itu berlanjut hari demi hari. Ayu Utami menuliskan, ”Lebih baik menyakiti Tuhan berkali-kali yang terbukti sudah sangat kuat dibandingkan menyakiti orang yang kita cintai.” Jauh sebelum Ayu menulis bukunya, dinasti monyet sudah menyakiti Tuhan berjuta-juta kali dibandingkan menyakiti harta yang dicintainya.

Kini tiba saatnya bangsa Indonesia mempersenjatai diri. Bukan bambu runcing seperti melawan penjajah Belanda atau bom atom Hiroshima saat Amerika bertempur dengan Jepang. Senjata rakyat Indonesia tidak tajam, sakit, dan melukai. Kita hanya perlu cermin. Paling terpenting bukan label, packaging, atau atributnya. Boleh cekung, cembung atau pun datar. Asalkan, cermin itu dapat membedakan antara manusia dengan monyet.