Friday, April 8, 2016

Say X to Violence

By: nRy

My 5 years old son always reminds me whenever my favorite TV shows is running.

"Papi, that is your favorite," he said.

However, he never intends to watch the TV seriously together as my favorite such as Criminal Minds, CSI, or Castle often contains violence. I thought how he react is spontaneous because of blood or fighting. In this particular case, it might be correlated with afraid feeling.

Next time we took him to watch 'A Good Dinosaur' (AGD) for the second time movie experience. Do not ask for the first experience, it was sooo "great" (read: disaster). His reaction for AGD was cool and amazed. He showed his really good emotion, intention, and curiosity. My son jumped from his seat when the cock shocking Arlo. Even, he could feel the tension when Arlo's father was dragged by flood. The most beautiful thing was his eyes were glazed when Arlo must say goodbye to Spot. Lesson learned, everybody happy.

By the time he never failed to amaze me. While we sit in living room or some places to eat, sometime the TV showing soap opera. Every time the male or female actor began to shout, my son will appoint to the TV screen, close his ears, and tell me to change the channel. I asked why, he said that he did not like it.

"It is mean," he answered shortly.

Not long ago, we watched trending topic movie nowadays. Before I took him watching Batvan Vs Superman, he forced me to buy the suit. Well, his Mom and me thought it would be good idea to take him to watch the movie. His reaction for the movie was purely innocent.

"Do you like the movie?" I asked him after it finished.
"I do not like the beginning part. It is too evil, too many blood. But the last part when Batman fought Superman, Wonder Woman come and fighting the Monster (Doomsday), it was exciting!" he replied.

He is intense playing RPG tactics game on his gadget for a quite long time. From what we saw, his brain absorbs mathematics faster than reading Bahasa.

The spirit of 5 years old SuperBatMan has taught me the simplicity to Say X (NO) to violence. Therefore, please spread love for the better world.

Suci

By: nRy

Es kopi hitam itu jelas bukan yang kedua atau ketiga, ia tetap pertama. Penyubliman menusuk tulang dari uap dingin di lantai 3 ke ruang terbuka lantai 4 tidak jadi problem utama. Duduk di mal simbol taman bertumbuhan anggrek tak mau jadi anak mama. Asbak di meja, asap merajalela, Onyx bercengkrama.

Onyx berbicara apa yang bulan impikan. Bukan kepada matahari dan makhluk yang disinari. Lelaki ini hanya memantulkan apa yang diberikan matahari. Dalam gelap dia akan terus mencari. Bercengkrama dengan isi hati. Sendiri.

“Apa lagi yang kamu cari?” Hardik Mami.

“Aku hanya ingin istirahat,” jawab Onyx singkat.

“Ini bukan saatnya istirahat, bangun dari tidurmu, kuliah atau kerja!” Gertak Mami menyadarkan Onyx.

“Aku tidak tahu mau kemana,” begitu jawab Onyx dalam hati. Pilu.

Percakapan ini tergiang di pikiran Onyx. Saat ini pikirannya diperkosa. Saat ini hatinya berkecamuk layak jadi orang gila. Saat ini harusnya ia bisa teriak. Saat ini ia tak mengerti arti terisak.

Onyx tetap jadi batu. Berwarna hitam dengan skala kekerasan tujuh. Mungkinkah suatu saat melewati umur delapan belas dia bisa menjadi sesuatu? Seperti yang kita tahu, hanya Tuhan yang tahu.

Suci datang memecah keheningan. Bertanya kepada Onyx bersama siapa dia di sini. Onyx jawab bersama waktu. Dan mundurlah Onyx mengingat dulu.

Onyx kenal Suci enam tahun lalu, saat Jose membawa berita seru. Teman sekelas Onyx ini bercerita ia jatuh hati kepada gadis Suci. Kurus, cantik, berambut pendek, betis bagus, pintar sepanjang waktu. Onyx menampik penampilan Suci sepintas lalu.

Mereka masih di lantai empat, depan aula setelah acara. Mungkin perpisahan, mungkin setelah pulang sekolah. Kali ini Onyx bersama Hiu dan Suci bercanda bertiga tanpa prasangka. Rambut Suci sudah lurus sepunggung dengan senyum dapat menghilangkan mendung. Mereka tertawa, mereka gembira, tiba-tiba Suci memecah suasana.

“Apa yang kau lakukan?” Tanya Suci menyelidik.

Bibir Hiu menempel cepat di pipi Suci. Mata Suci membelalak, tapi malu. Pandangannya menuju ke Onyx. Di saat inilah Onyx cemburu lalu berlalu. Hiu terlalu! Onyx dan Suci kembali bercengkrama lewat mata.

Saat pertama ke rumah Suci, Onyx sudah buat malu. Menemani Jose ingin kenal dekat Suci. Onyx terlentang tidur depan rumahnya. Lima detik hanya demi menang bertaruh. Selanjutnya bikin malu,

Suci mulai sekolah di ufuk timur, kejadian dua tahun setelah berita seru Jose. Onyx bertemu wanita dengan seragam atasan kuning, bawahan hijau sedang tersenyum. Mereka tidak dipertemukan oleh janji. Pikir Onyx semua sudah ada jalannya. Berbicara arah jalan, tak mungkin matahari akan selalu bersama bulan. Suci selalu jadi matahari, menerangi pagi sampai siang hari. Di malam hari ia bertransformasi berpanjat pada Ilahi.

Di satu malam Dot mengangkat telepon Onyx. Dot adalah nama beken adik Suci. Nama aslinya adalah Rahmat. Onyx juga tidak habis mengerti bagaimana Ayah Suci yang berjualan pusaka bisa menamakan adik wanita Suci menjadi Rahmat.

“Sebentar, aku panggilkan Kak Suci,” sahut Dot.

Ternyata malam itu Suci sedang berpasrah diri. Tiga puluh menit berlalu baru ia kembali. Onyx terhanyut dalam candaan khas tebak-tebakan demi mendengar tawa Suci. Sampai di satu titik Suci berhenti tertawa.

“Aku memang selalu berdoa jika tidak tahu apa yang harus aku lakukan.”

“Memang berdoa bisa dapat jawaban?” Tanya Onyx ingin tahu.

“Nggak juga, tapi senggak-nggaknya diri aku jadi tenang. Coba saja kalau kamu tidak tahu apa yang harus kamu lakukan dan tidak ada jalan, kamu berdoa sungguh-sungguh!”

“Memangnya bisa dikabulkan?”

“Kalau aku berdoa sungguh-sungguh tidak pernah tidak dikabulkan. Tuhan selalu kasih jalan.”

Onyx tidak percaya perkataan Suci. Mana mungkin doa kita selalu dikabulkan? Apa iya dengan berdoa saja dikabulkan? Terlalu religius wanita ini. Menjauhlah Onyx dari Suci, tapi ia lupa kalimat terakhir Suci.

Onyx hanya ingat setiap hari raya, valentine, dan setiap 2 September 1979. Kartu berganti kartu. Kata demi kata. Apa kabarmu? Tak lebih dari itu. Suci tak pandai memilah kata. Ia suka prakarya. Ia mulai bertanya.

“Kamu sedang apa di sini?” Suci memecah keheningan.

“Aku sedang bingung?”

“Bingung kenapa?”

“Ah, nggak apa-apa. Kamu ada acara apa kemari?” tanya Onyx.

“Mau nonton dengan temanku, tapi nggak apa-apa juga aku temanin kamu saja di sini. Muka kamu kusut banget. Rokok kamu sudah seasbak. Pasti kamu butuh teman.”

“Sudah kamu nonton saja, aku nggak apa-apa. Aku cuma mau waktu sendiri.”

Onyx tetap memaksa untuk sendiri. Suci tak pernah tega meninggalkan Onyx bermimpi. Berkali-kali bujukannya ditepis. Ia hanya jawab akan ke Bali.

“Aku akan ke Jepang sebentar lagi.” kata Suci pelan.

“Untuk apa?”

“Mengejar mimpi.”

“Sampai bertemu lagi,” Onyx sedih.

Suci tetaplah matahari yang mempelajari darah bukan untuk kepentingan pribadi. Onyx tetap menjadi bulan takkan pernah karam. Suci menyinari, Onyx tidak sendiri. Onyx memilih bersinar di saat matahari bersembunyi. Ini jalan yang mereka pilih.

Di hari Minggu tanpa ada yang berjanji. Di taman mereka lagi berdiri, Suci dan Onyx saling menyalami. Anak mereka sudah menanti.

“Papi,” teriak Keke.
“Mami,” rengek Rere.

Jakarta, di kantor, 8 April 2016 14:11

Thursday, April 7, 2016

Titiek Titik "Keterbatasan"

by: nRy

Hari ini di tahun 1997
Setahun sebelum kerusuhan...

Kau berdiri mengajarkan persamaan kata
Melempar tanya yang = ketidakmampuan manusia
Semua anak berebut menjawab, kecuali aku suka diam
Mataku menatap telingaku menyimak dalam hati aku berkhayal

Tak puas mendengar, kau terus mengejar
Penasaran matamu jadi nanar
Kau tunjuk diriku yang sedari tadi diam
Aku jawab "keterbatasan"

Kau tersenyum, lembut Titiek titik diam

Hari ini di tahun 1997
Setahun sebelum kerusuhan...

Kau panggil aku rapat ke kantin
Bersama Setia datang menghadap
Kau tanya aku perlukah adanya PR
Ku sanggah percuma hanya teori mati

Kau bingung kan tanggung jawab
Ku jawab kan maju dan kasih tahu
Di sini kau diam jua tak harap
Detik ini kami tahu PR tak laku

Aku tersenyum, lembut Titiek titik diam

Hari ini di tahun 1997
Setahun sebelum kerusuhan...

Kau puji bakatku tanpa koma
Ku malu tak mampu ucap acap cerpenku
Depan kelas indraku bergetar...hampa...
Kau tersipu lihatku bertingkah laku

Kalian tersenyum, lembut Titiek titik diam

Hari ini sebelum zaman peralihan masih di tahun 1997...

Tanpa tanda tanya, kali ini tidak ajarkan tanda seru
Ceritanya saudara kandungmu jadi fana
Pulang kotamu tepatnya Yogyakarta
Apa adanya tuk jaga permata ananda

Giliran kami terpekik jatuhkan titik-titik bukan cinderamata
Sudah terbayang ke depan tanpa Titiek koma maupun penggalan kata
Tidak ada sinonim akronim juga tanda petik
Hari ini di tahun 1997, setahun sebelum kerusuhan, sebelum zaman peralihan...

Kita terdiam Titiek titik diam

(A Tribute to Ibu Titiek, guru bahasa Indonesia SMU Vianney)

Friday, March 20, 2015

Titiek Titik

by: nRy

Hari ini di tahun 1997
Setahun sebelum kerusuhan...

Kau berdiri mengajarkan persamaan kata
Melempar tanya yang sama dengan ketidakmampuan manusia
Semua anak berebut menjawab hanya aku yang terdiam seribu bahasa
Mataku menatap telingaku menyimak hatiku manghayati

Tak puas mendengar, kau terus mengejar 
Penasaran matamu jadi nanar 
Kau tunjuk diriku yang sedari tadi diam
Ku hanya jawab keterbatasan

Kau tersenyum lembut...diam 

Hari ini di tahun 1997
Setahun sebelum kerusuhan...

Kau panggil aku ke ruang kantin
Bersama setia datang menghadap
Kau tanya aku perlukah PR
Ku sanggah percuma mengerjakan teori

Kau singgung bagaimana tanggung jawab ke orang tua murid
Ku jawab akan maju dan kasih tahu
Di sini kau diam
PR pun tidak laku

Aku tersenyum lembut...diam

Hari ini di tahun 1997
Setahun sebelum kerusuhan...

Kau puji bakatku tanpa koma
Ku tersipu malu tak mampu baca lantang cerpen karanganku
Di depan kelas tanganku bergetar
Kau tersipu melihatku tak mampu baca hasil karyaku

Kalian tersenyum lembut...diam

Hari ini sebelum zaman peralihan masih di tahun 1997...

Tanpa tanda tanya, kali ini tidak mengajarkan tanda seru
Ceritanya saudara kandungmu meninggalkan dunia
Pulang ke kotamu tepatnya Yogyakarta 
Pikul tanggung jawab menjaga anak-anaknya

Giliran kami menjatuhkan titik-titik air mata
Sudah terbayang ke depan tanpa Titiek maupun koma
Tidak perlu huruf kapital juga tanda petik
Hari ini di tahun 1997, setahun sebelum kerusuhan, sebelum zaman peralihan...

Kita terdiam tak mampu membayangkan ditinggalkan Titiek titik

(A Tribute to Ibu Titiek, guru bahasa Indonesia SMU Vianney) 

Sumpah Sang Banteng

by: nRy

Kalau aku Banteng, takkan ku-cat moncongku jadi putih
Kalaulah aku Banteng, akan kuseruduk tumbang pohon beringin
Jika aku Banteng, tak sudi aku terbang bersama garuda merah
Jikalau aku Banteng, menumpang mercedes bukan hobiku

Kau rubah matahari jadi biru, aku bergeming

Kau siarkan lewat layar lebar, aku tetap kokoh
Kau bawa Neng nurani, kubawa bang Rakyat
PadaMu kau bersimpuh, aku tak yakin bisa berlutut

Hari ini aku teriak

Jangan pernah kau bikinku diam
Besok pasti akan datang
Jumlah Rakyat lebih dari jutaan
Sumpahku di tanah berlumpur
Jadikan tanah ini emas berlian
PadaMu aku bersumpah
Aku hina rampok bukan punyaku

Monday, May 19, 2008

Aurora di Pelupuk Mata

by: nRy

Hanya ada warna hitam membayang di matanya. Tetapi, keterbatasan sama sekali tidak menghalangi langkahnya untuk terus berkreasi. Keinginan, harapan, angan, diramunya menjadi konsep, ide. Itulah Eko Ramaditya Adikara (26), yang kini mampu mewarnai dunia maya di negeri ini.

Pengetahuan demi pengetahuan terus mengisi lapisan-lapisan otaknya. Bahkan, pengetahuan dan pengalaman hidupnya tak kalah dibandingkan orang normal seusianya. Rama, panggilannya, justru menganggap cobaan yang ia hadapi adalah berkah.

Rama ditemui SP di Aula D Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam acara hari internasional penyandang cacat beberapa waktu lalu. Dengan ramah ia menerima, dengan tulus ia bercengkerama. Sama sekali ia tidak mengeksklusifkan diri sebagai seorang penyandang cacat. Meminta diperlakukan istimewa, misalnya.

Terhindar dari berbagai dosa mata, tak lantas membuat hatinya bangga. Rama berjuang dua kali lebih keras daripada orang normal pada umumnya. Bergumul dengan waktu, bersemangat tanpa melarutkan pilu.

Berawal dari kebutaan sejak lahir, Rama diajarkan oleh orangtua agar hidup mandiri. Kasih sayang berlimpah lantas tak membuatnya buta keadaan. Belajar demi masa depan lambat laun mengantarkannya ke realitas hidup lebih keras dari yang dibayangkan.

Penolakan adalah hal umum yang disikapi Rama dan keluarga dengan lapang dada. Menerima apa adanya bukan berarti ia tidak berusaha mencoba. Keteguhan hati dan dukungan keluarga mulai dari masalah pendidikan dan kebutuhan teknologi disikapi dengan arif dan bijaksana.

Tak terhitung sudah guru-guru yang turut serta membangun kepercayaan diri Rama. Waktu memang tak dapat digenggam, akan tetapi ingatannya tetap kuat tak lekang waktu. Lilis, Tarno, Tati, dan guru-guru lain yang tak sempat disebutkan namanya mengalir lancar melalui celah memori masa lalu lelaki muda penuh inspirasi ini.

Didikan para guru turut serta memberi dampak positif di kemudian hari. Lelaki lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Darma Persada, Jakarta ini, berhasil keluar dari keterbatasan fisik dan berkembang menjadi manusia tahan banting.

Lima Pekerjaan

Sebagai manusia biasa, ada saat di mana sisi gelap muncul tanpa tertahan. Egois, gampang putus asa, menyerah, munafik, umpatan kalau ada yang membuatnya marah, terkadang keluar dari sisi negatifnya.

Buka saja salah satu artikel di blog-nya yang berjudul "Ketika Aku Hampir Menyerah". "Pernahkah kalian berada pada saat-saat paling menyedihkan dalam hidup kalian? Saat yang dimaksud adalah ketika kita merasa bahwa cobaan hidup yang diberikan Tuhan sudah tak lagi bisa kuhadapi. Di saat itu yang ada hanyalah rasa putus asa, dan keinginan yang hilang untuk terus berjuang dan mencoba ..." Tulisan itu ia tujukan untuk diri sendiri, juga untuk seseorang, katanya, yang menghadapi hal yang sama, yang menghadapi kesulitan menghadapi jalan keluar dari "penderitaan" yang dihadapi.

Tulisan itu terselip di antara 41 artikel yang ditulis di blog-nya, di antara artikel-artikel lain yang menggambarkan semangat dan pencapaiannya, seperti "Ikut Pelatihan Jurnalistik Online", atau "Ramaditya on SCTV".

Namun, segala kekurangan tak menghantui untuk tetap maju. Sisi gelap itu adalah alat bagi Rama menginstropeksi diri. Ia dengan tulus meminta sumbangan kritikan dengan tujuan memperbaiki diri.
Jika ada sisi gelap, tentu ada sisi terang. Bermodal kemampuan teknologi informasi yang dipelajari sejak kecil, Rama mampu mendobrak tatanan dalam masyarakat yang antipati terhadap penyandang cacat.

Saat ini ia mempunyai lima pekerjaan yang dapat menafkahi lahir dan batin. Ia melakoni pekerjaan sebagai kolumnis lepas di www.detikinet.com, kolumnis majalah telepon seluler, teknisi teknologi informasi di Cuisine Club, perakit komputer sekaligus jual beli komputer dan laptop bekas, serta yang paling menakjubkan adalah menjadi salah seorang penata musik video games Nintendo dari Jepang.

Kemampuan tanpa didukung keberuntungan dan kerja keras tak akan membuat Rama seperti sekarang ini. Ia mengakui sejak awal bekerja mendapat atasan yang memiliki tingkat kesadaran tinggi tentang penyandang cacat.

Pertama kali menjadi jurnalis, Rama mengaku tak ditanya mengenai bagaimana orang buta dapat menulis. Justru, ia ditanyai tentang contoh hasil karya jika ingin menjadi penulis. Setelah mereka melihat hasil karyanya dan mendapat restu, ia mulai menyumbangkan tulisan dan berkarya.

Karya tulisan Rama telah dimuat dalam situs dan majalah yang disebutkan di atas dan mulai sejak itu ia aktif memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Orang-orang di tempat kerjanya baru mulai menanyakan cara kerja lelaki ini sesudah membaca tulisan Rama. Ia dengan sigap menjawab pertanyaan yang mungkin berkecamuk di pikiran orang-orang itu dengan jawaban singkat, "Ini semua karena hobi menulis dan teknologi."

Kalau mengenai teknisi teknologi informasi dan perakit komputer, Rama menceritakan awal bagaimana ayahnya kerap membawa Rama kecil untuk mengenal perangkat komputer dan perangkat lunaknya. Dari situ, ia mulai menggemari dan mendalami secara otodidak tentang komputer.

Simbol Aurora

Perjuangan Rama tidak sampai di situ. Ia dengan kreatif menata musik untuk video games. Karya musik itu ia kirimkan ke berbagai perusahaan pengembang video games di luar negeri. Gayung memang tidak serta-merta bersambut. Tetapi, ia tidak patah arang.

Hasil dari usaha tersebut mulai dilirik pengembang game Squaresoft. Rama berkesempatan merilis "thank you project" (tanpa dibayar) untuk selama lima sampai enam tahun. Kemudian, ia menuai benih yang ia semai setelah diajak bergabung oleh komposer game Mario Bros Galaxy, Koji Kondo, untuk membuat musik pada Nintendo. Ia sendiri mengaku menggandrungi karya-karya game music composer Nobuo Uematsu, Yasunari Mitsuda, Yuki Kajiura, dan Motoi Sakuraba.

Pencapaian itu akan terus berlanjut. Ia ikut dalam penataan musik Nintendo untuk video games Super Smash Brothers Brawl yang dirilis 10 Februari 2008. Saat mencoba mengorek berapa yang ia terima dari Nintendo, ia tidak menjawab pasti. Dengan sedikit guyon penggemar Sherina, juga penggemar musik-musik new age Enya, Yanni, dan Kitaro, serta karya-karya klasik Mozart, Vivaldi, dan Debussy itu, mengatakan, "He he he, yah, cukuplah untuk mencicil rumah masa depan."

Keberadaan Rama mengingatkan pada sosok Stephen Hawking. Fisik ilmuwan fisika itu boleh saja terpenjara di kursi rodanya, tetapi berkat kemampuan otaknya memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi ia berhasil mengalahkan keterbatasannya. Begitu pula halnya Rama. Ia tak akan bisa hidup seperti sekarang ini tanpa bantuan teknologi.

Satu hal yang pasti, Rama mengubah stigma kalau tunanetra tak bisa hidup tanpa minyak gosok. Menjadi tukang pijat, meminjam istilahnya. Justru stigma sekarang yang melekat pada Rama adalah ia tidak bisa hidup tanpa bantuan teknologi.

Kegelapan tak menghentikan Rama mendambakan aurora. Simbol tersebut dipakainya karena ia ingin bersinar seperti cahaya yang keluar dari fajar (aurora). Bila dilihat dari pencapaian hidupnya sekarang, aurora itu akan terus bersinar laksana kilau surgawi. [Hendri Sutrisno/A-18]

Monday, April 28, 2008

Bangsa Indonesia Perlu Cermin

by: nRy

“Kaya dan berkedudukan mulia ialah keinginan setiap orang, tetapi jika tidak dapat dicapai dengan Jalan Suci jangan ditempati. Miskin dan berkedudukan rendah ialah kebencian setiap orang, tetapi jika tidak dapat disingkirkan dengan Jalan Suci jangan ditinggalkan.” (Lun Yu, IV; 5)

Penggalan sutra di atas pantas masuk ke dalam asas kehidupan bangsa Indonesia yang telah carut-marut karena dihantam badai korupsi. Bangga akan uang korupsi berarti menuai badai. Sejarah membuktikan kerajaan Majapahit hancur bukan karena diserang badai Katrina, kerajaan nan masyur itu runtuh karena badai korupsi. Pertanyaannya, apakah Republik Indonesia akan mengalakan korupsi sebagai gerakan nasional?

Korupsi memang indah karena bisa bikin kaya dalam sekejap. Sistemnya juga canggih karena penuh konspirasi sana-sini. Hebatnya lagi, Charles Darwin kalau masih hidup pasti akan geleng-geleng kepala. Ia bukan mau mencoba pil ineg sambil denger lagu house music untuk membuktikan ampuhnya pil yang akan merangsang sel serotonin dalam otak.

Dalam hatinya, Bapak evolusi ini cuma ingin kagum campur heran disebabkan kebenaran teorinya berjalan terbalik kembali ke zaman purba. Walaupun intinya sama, yang kuat makan yang lemah, tapi kalau di Indonesia manusia berubah menjadi monyet. Monyet pintar korupsi. Saking pandainya monyet itu bisa makan manusia.

Kalau di luar sana ada Bapak evolusi, Bapak demokrasi, atau Bapak Khonghucu, di Indonesia pasti ada bapak korupsi. Bapak ini memang susah ditangkap karena bisa menjelma menjadi monyet. Djenar Maesa Ayu menulis, ”Mereka bilang saya monyet.” Antek monyet Indonesia mengatakan, ”Saya bangga jadi anak monyet.”

Binatang ini memang sangat suci di Indonesia, lebih suci dari hewan suci Kilin yang diburu oleh Raja pada masa Konfusius atau Kong Zi merampungkan kitabnya. Kong Zi bertanya, ”Kenapa Kilin muncul?” Bapak korupsi alias bapak monyet menjawab, ”Monyet lebih berharga karena kitab monyet belum ada di dunia.”

“Dengan makan nasi kasar, minum air tawar, dan tangan dilipat sebagai bantal, orang masih merasakan berbahagia di dalamnya. Maka, harta dan kemuliaan yang tidak dilandasi kebenaran bagiku laksana awan yang berlalu atau mengambang.” (Lun Yu, VIII; 16)

Monyet di Indonesia tidak pernah makan nasi kasar atau minum air tawar. Di balik jeruji besi pun, para monyet tersebut bisa tidur dengan bantal anti salah bantal. Mereka juga hidup penuh mutu, miskin motto. Layaknya manusia, mereka bisa sesuka hati menggunakan gadget tercanggih di muka bumi ini. Penjara bukan batasan, hand phone seri terbaru beredar di mana-mana, kalau bosan tinggal mendengar ipod lagu manusia. Bisnis tetap lancar, semua keputusan bisa diambil melalui penjara buatan anak monyet.

Harta hasil korupsi tak mungkin habis tujuh turunan. Cukup dengan menengadahkan tangan, anak monyet mendapat warisan langsung lahap. Tak ada istilah harta dan kemuliaan dilandasi kebenaran karena kebenaran bagi mereka bersifat relatif dapat dibengkokkan, dan kemuliaan adalah mutlak. Semua harta dan kemuliaan masuk dalam versi “monyet tidak pernah salah” di pasal pertama undang-undang rimba korupsi. Jika ada kesalahan, mohon tinjau kembali pasal pertama.

“Kata-kata tidak senonoh akan kembali kepada yang mengucapkan. Kekayaan yang diperoleh secara tidak halal akan habis tidak karuan. Kebajikan itulah yang pokok dan kekayaan itulah yang ujung. Seorang yang penuh Cinta Kasih menggunakan harta untuk mengembangkan diri. Tetapi seorang yang tidak berperi Cinta Kasih menghambakan dirinya untuk memupuk harta.” (Ta Hsieh, X:10; 20)

Kebajikan bagi monyet dan anak-anaknya adalah yang ujung. Rumah ibadah didirikan dengan dalih berderma. Padahal, uang yang dipergunakan termasuk hasil korupsi. Kekayaan masuk menjadi pokok pemasalahannya. Orang kaya akan dipandang dari ujung kaki ke ujung rambut dengan tatapan mesra.

Tanpa dilema, “Cinta Kasih” diperbudak oleh harta. Lambang itu terus dipergunakan sebagai stempel kerajaan korupsi di dinasti monyet. Sungguh ajaib, ketika timbul kerajaan baru di negara Republik Indonesia.

Konyolnya, monyet semakin larut dalam kemandirian cinta harta. Tanpa mengindahkan penghormatan kepada orang lanjut usia, pembinaan generasi muda dengan kasih sayang, dan bisa dipercaya oleh kawan atau sahabat, semua dilibas habis demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Kepalsuan itu berlanjut hari demi hari. Ayu Utami menuliskan, ”Lebih baik menyakiti Tuhan berkali-kali yang terbukti sudah sangat kuat dibandingkan menyakiti orang yang kita cintai.” Jauh sebelum Ayu menulis bukunya, dinasti monyet sudah menyakiti Tuhan berjuta-juta kali dibandingkan menyakiti harta yang dicintainya.

Kini tiba saatnya bangsa Indonesia mempersenjatai diri. Bukan bambu runcing seperti melawan penjajah Belanda atau bom atom Hiroshima saat Amerika bertempur dengan Jepang. Senjata rakyat Indonesia tidak tajam, sakit, dan melukai. Kita hanya perlu cermin. Paling terpenting bukan label, packaging, atau atributnya. Boleh cekung, cembung atau pun datar. Asalkan, cermin itu dapat membedakan antara manusia dengan monyet.