Monday, April 28, 2008

Bangsa Indonesia Perlu Cermin

by: nRy

“Kaya dan berkedudukan mulia ialah keinginan setiap orang, tetapi jika tidak dapat dicapai dengan Jalan Suci jangan ditempati. Miskin dan berkedudukan rendah ialah kebencian setiap orang, tetapi jika tidak dapat disingkirkan dengan Jalan Suci jangan ditinggalkan.” (Lun Yu, IV; 5)

Penggalan sutra di atas pantas masuk ke dalam asas kehidupan bangsa Indonesia yang telah carut-marut karena dihantam badai korupsi. Bangga akan uang korupsi berarti menuai badai. Sejarah membuktikan kerajaan Majapahit hancur bukan karena diserang badai Katrina, kerajaan nan masyur itu runtuh karena badai korupsi. Pertanyaannya, apakah Republik Indonesia akan mengalakan korupsi sebagai gerakan nasional?

Korupsi memang indah karena bisa bikin kaya dalam sekejap. Sistemnya juga canggih karena penuh konspirasi sana-sini. Hebatnya lagi, Charles Darwin kalau masih hidup pasti akan geleng-geleng kepala. Ia bukan mau mencoba pil ineg sambil denger lagu house music untuk membuktikan ampuhnya pil yang akan merangsang sel serotonin dalam otak.

Dalam hatinya, Bapak evolusi ini cuma ingin kagum campur heran disebabkan kebenaran teorinya berjalan terbalik kembali ke zaman purba. Walaupun intinya sama, yang kuat makan yang lemah, tapi kalau di Indonesia manusia berubah menjadi monyet. Monyet pintar korupsi. Saking pandainya monyet itu bisa makan manusia.

Kalau di luar sana ada Bapak evolusi, Bapak demokrasi, atau Bapak Khonghucu, di Indonesia pasti ada bapak korupsi. Bapak ini memang susah ditangkap karena bisa menjelma menjadi monyet. Djenar Maesa Ayu menulis, ”Mereka bilang saya monyet.” Antek monyet Indonesia mengatakan, ”Saya bangga jadi anak monyet.”

Binatang ini memang sangat suci di Indonesia, lebih suci dari hewan suci Kilin yang diburu oleh Raja pada masa Konfusius atau Kong Zi merampungkan kitabnya. Kong Zi bertanya, ”Kenapa Kilin muncul?” Bapak korupsi alias bapak monyet menjawab, ”Monyet lebih berharga karena kitab monyet belum ada di dunia.”

“Dengan makan nasi kasar, minum air tawar, dan tangan dilipat sebagai bantal, orang masih merasakan berbahagia di dalamnya. Maka, harta dan kemuliaan yang tidak dilandasi kebenaran bagiku laksana awan yang berlalu atau mengambang.” (Lun Yu, VIII; 16)

Monyet di Indonesia tidak pernah makan nasi kasar atau minum air tawar. Di balik jeruji besi pun, para monyet tersebut bisa tidur dengan bantal anti salah bantal. Mereka juga hidup penuh mutu, miskin motto. Layaknya manusia, mereka bisa sesuka hati menggunakan gadget tercanggih di muka bumi ini. Penjara bukan batasan, hand phone seri terbaru beredar di mana-mana, kalau bosan tinggal mendengar ipod lagu manusia. Bisnis tetap lancar, semua keputusan bisa diambil melalui penjara buatan anak monyet.

Harta hasil korupsi tak mungkin habis tujuh turunan. Cukup dengan menengadahkan tangan, anak monyet mendapat warisan langsung lahap. Tak ada istilah harta dan kemuliaan dilandasi kebenaran karena kebenaran bagi mereka bersifat relatif dapat dibengkokkan, dan kemuliaan adalah mutlak. Semua harta dan kemuliaan masuk dalam versi “monyet tidak pernah salah” di pasal pertama undang-undang rimba korupsi. Jika ada kesalahan, mohon tinjau kembali pasal pertama.

“Kata-kata tidak senonoh akan kembali kepada yang mengucapkan. Kekayaan yang diperoleh secara tidak halal akan habis tidak karuan. Kebajikan itulah yang pokok dan kekayaan itulah yang ujung. Seorang yang penuh Cinta Kasih menggunakan harta untuk mengembangkan diri. Tetapi seorang yang tidak berperi Cinta Kasih menghambakan dirinya untuk memupuk harta.” (Ta Hsieh, X:10; 20)

Kebajikan bagi monyet dan anak-anaknya adalah yang ujung. Rumah ibadah didirikan dengan dalih berderma. Padahal, uang yang dipergunakan termasuk hasil korupsi. Kekayaan masuk menjadi pokok pemasalahannya. Orang kaya akan dipandang dari ujung kaki ke ujung rambut dengan tatapan mesra.

Tanpa dilema, “Cinta Kasih” diperbudak oleh harta. Lambang itu terus dipergunakan sebagai stempel kerajaan korupsi di dinasti monyet. Sungguh ajaib, ketika timbul kerajaan baru di negara Republik Indonesia.

Konyolnya, monyet semakin larut dalam kemandirian cinta harta. Tanpa mengindahkan penghormatan kepada orang lanjut usia, pembinaan generasi muda dengan kasih sayang, dan bisa dipercaya oleh kawan atau sahabat, semua dilibas habis demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Kepalsuan itu berlanjut hari demi hari. Ayu Utami menuliskan, ”Lebih baik menyakiti Tuhan berkali-kali yang terbukti sudah sangat kuat dibandingkan menyakiti orang yang kita cintai.” Jauh sebelum Ayu menulis bukunya, dinasti monyet sudah menyakiti Tuhan berjuta-juta kali dibandingkan menyakiti harta yang dicintainya.

Kini tiba saatnya bangsa Indonesia mempersenjatai diri. Bukan bambu runcing seperti melawan penjajah Belanda atau bom atom Hiroshima saat Amerika bertempur dengan Jepang. Senjata rakyat Indonesia tidak tajam, sakit, dan melukai. Kita hanya perlu cermin. Paling terpenting bukan label, packaging, atau atributnya. Boleh cekung, cembung atau pun datar. Asalkan, cermin itu dapat membedakan antara manusia dengan monyet.

2 comments:

Dhanendra said...

serius loe yg tulis nih??? sembah deh gw...

Dhanendra said...

kok jadi ivan nama gw?????
ini gw dhanendra yang