Es kopi hitam itu jelas
bukan yang kedua atau ketiga, ia tetap pertama. Penyubliman menusuk
tulang dari uap dingin di lantai 3 ke ruang terbuka lantai 4 tidak
jadi problem utama. Duduk di mal simbol taman bertumbuhan anggrek tak
mau jadi anak mama. Asbak di meja, asap merajalela, Onyx
bercengkrama.
Onyx berbicara apa yang
bulan impikan. Bukan kepada matahari dan makhluk yang disinari.
Lelaki ini hanya memantulkan apa yang diberikan matahari. Dalam gelap
dia akan terus mencari. Bercengkrama dengan isi hati. Sendiri.
“Apa lagi yang kamu
cari?” Hardik Mami.
“Aku hanya ingin
istirahat,” jawab Onyx singkat.
“Ini bukan saatnya
istirahat, bangun dari tidurmu, kuliah atau kerja!” Gertak Mami
menyadarkan Onyx.
“Aku tidak tahu mau
kemana,” begitu jawab Onyx dalam hati. Pilu.
Percakapan ini tergiang
di pikiran Onyx. Saat ini pikirannya diperkosa. Saat ini hatinya
berkecamuk layak jadi orang gila. Saat ini harusnya ia bisa teriak.
Saat ini ia tak mengerti arti terisak.
Onyx tetap jadi batu.
Berwarna hitam dengan skala kekerasan tujuh. Mungkinkah suatu saat
melewati umur delapan belas dia bisa menjadi sesuatu? Seperti yang
kita tahu, hanya Tuhan yang tahu.
Suci datang memecah
keheningan. Bertanya kepada Onyx bersama siapa dia di sini. Onyx
jawab bersama waktu. Dan mundurlah Onyx mengingat dulu.
Onyx kenal Suci enam
tahun lalu, saat Jose membawa berita seru. Teman sekelas Onyx ini
bercerita ia jatuh hati kepada gadis Suci. Kurus, cantik, berambut
pendek, betis bagus, pintar sepanjang waktu. Onyx menampik penampilan
Suci sepintas lalu.
Mereka masih di lantai
empat, depan aula setelah acara. Mungkin perpisahan, mungkin setelah
pulang sekolah. Kali ini Onyx bersama Hiu dan Suci bercanda bertiga
tanpa prasangka. Rambut Suci sudah lurus sepunggung dengan senyum
dapat menghilangkan mendung. Mereka tertawa, mereka gembira,
tiba-tiba Suci memecah suasana.
“Apa yang kau lakukan?”
Tanya Suci menyelidik.
Bibir Hiu menempel cepat
di pipi Suci. Mata Suci membelalak, tapi malu. Pandangannya menuju ke
Onyx. Di saat inilah Onyx cemburu lalu berlalu. Hiu terlalu! Onyx dan
Suci kembali bercengkrama lewat mata.
Saat pertama ke rumah
Suci, Onyx sudah buat malu. Menemani Jose ingin kenal dekat Suci.
Onyx terlentang tidur depan rumahnya. Lima detik hanya demi menang
bertaruh. Selanjutnya bikin malu,
Suci mulai sekolah di
ufuk timur, kejadian dua tahun setelah berita seru Jose. Onyx bertemu
wanita dengan seragam atasan kuning, bawahan hijau sedang tersenyum.
Mereka tidak dipertemukan oleh janji. Pikir Onyx semua sudah ada
jalannya. Berbicara arah jalan, tak mungkin matahari akan selalu
bersama bulan. Suci selalu jadi matahari, menerangi pagi sampai siang
hari. Di malam hari ia bertransformasi berpanjat pada Ilahi.
Di satu malam Dot
mengangkat telepon Onyx. Dot adalah nama beken adik Suci. Nama
aslinya adalah Rahmat. Onyx juga tidak habis mengerti bagaimana Ayah
Suci yang berjualan pusaka bisa menamakan adik wanita Suci menjadi
Rahmat.
“Sebentar, aku
panggilkan Kak Suci,” sahut Dot.
Ternyata malam itu Suci
sedang berpasrah diri. Tiga puluh menit berlalu baru ia kembali. Onyx
terhanyut dalam candaan khas tebak-tebakan demi mendengar tawa Suci.
Sampai di satu titik Suci berhenti tertawa.
“Aku memang selalu
berdoa jika tidak tahu apa yang harus aku lakukan.”
“Memang berdoa bisa
dapat jawaban?” Tanya Onyx ingin tahu.
“Nggak juga, tapi
senggak-nggaknya diri aku jadi tenang. Coba saja kalau kamu tidak
tahu apa yang harus kamu lakukan dan tidak ada jalan, kamu berdoa
sungguh-sungguh!”
“Memangnya bisa
dikabulkan?”
“Kalau aku berdoa
sungguh-sungguh tidak pernah tidak dikabulkan. Tuhan selalu kasih
jalan.”
Onyx tidak percaya
perkataan Suci. Mana mungkin doa kita selalu dikabulkan? Apa iya
dengan berdoa saja dikabulkan? Terlalu religius wanita ini.
Menjauhlah Onyx dari Suci, tapi ia lupa kalimat terakhir Suci.
Onyx
hanya ingat setiap hari raya, valentine, dan setiap 2 September 1979.
Kartu berganti kartu. Kata demi kata. Apa kabarmu? Tak lebih dari
itu. Suci tak pandai memilah kata. Ia suka prakarya. Ia mulai
bertanya.
“Kamu sedang apa di
sini?” Suci memecah keheningan.
“Aku sedang bingung?”
“Bingung kenapa?”
“Ah, nggak apa-apa.
Kamu ada acara apa kemari?” tanya Onyx.
“Mau nonton dengan
temanku, tapi nggak apa-apa juga aku temanin kamu saja di sini. Muka
kamu kusut banget. Rokok kamu sudah seasbak. Pasti kamu butuh teman.”
“Sudah kamu nonton
saja, aku nggak apa-apa. Aku cuma mau waktu sendiri.”
Onyx tetap memaksa untuk
sendiri. Suci tak pernah tega meninggalkan Onyx bermimpi.
Berkali-kali bujukannya ditepis. Ia hanya jawab akan ke Bali.
“Aku akan ke Jepang
sebentar lagi.” kata Suci pelan.
“Untuk apa?”
“Mengejar mimpi.”
“Sampai bertemu lagi,”
Onyx sedih.
Suci tetaplah matahari
yang mempelajari darah bukan untuk kepentingan pribadi. Onyx tetap
menjadi bulan takkan pernah karam. Suci menyinari, Onyx tidak
sendiri. Onyx memilih bersinar di saat matahari bersembunyi. Ini
jalan yang mereka pilih.
Di hari Minggu tanpa ada
yang berjanji. Di taman mereka lagi berdiri, Suci dan Onyx saling
menyalami. Anak mereka sudah menanti.
“Papi,” teriak Keke.
“Mami,” rengek Rere.
Jakarta, di kantor, 8
April 2016 14:11