Friday, April 8, 2016

Suci

By: nRy

Es kopi hitam itu jelas bukan yang kedua atau ketiga, ia tetap pertama. Penyubliman menusuk tulang dari uap dingin di lantai 3 ke ruang terbuka lantai 4 tidak jadi problem utama. Duduk di mal simbol taman bertumbuhan anggrek tak mau jadi anak mama. Asbak di meja, asap merajalela, Onyx bercengkrama.

Onyx berbicara apa yang bulan impikan. Bukan kepada matahari dan makhluk yang disinari. Lelaki ini hanya memantulkan apa yang diberikan matahari. Dalam gelap dia akan terus mencari. Bercengkrama dengan isi hati. Sendiri.

“Apa lagi yang kamu cari?” Hardik Mami.

“Aku hanya ingin istirahat,” jawab Onyx singkat.

“Ini bukan saatnya istirahat, bangun dari tidurmu, kuliah atau kerja!” Gertak Mami menyadarkan Onyx.

“Aku tidak tahu mau kemana,” begitu jawab Onyx dalam hati. Pilu.

Percakapan ini tergiang di pikiran Onyx. Saat ini pikirannya diperkosa. Saat ini hatinya berkecamuk layak jadi orang gila. Saat ini harusnya ia bisa teriak. Saat ini ia tak mengerti arti terisak.

Onyx tetap jadi batu. Berwarna hitam dengan skala kekerasan tujuh. Mungkinkah suatu saat melewati umur delapan belas dia bisa menjadi sesuatu? Seperti yang kita tahu, hanya Tuhan yang tahu.

Suci datang memecah keheningan. Bertanya kepada Onyx bersama siapa dia di sini. Onyx jawab bersama waktu. Dan mundurlah Onyx mengingat dulu.

Onyx kenal Suci enam tahun lalu, saat Jose membawa berita seru. Teman sekelas Onyx ini bercerita ia jatuh hati kepada gadis Suci. Kurus, cantik, berambut pendek, betis bagus, pintar sepanjang waktu. Onyx menampik penampilan Suci sepintas lalu.

Mereka masih di lantai empat, depan aula setelah acara. Mungkin perpisahan, mungkin setelah pulang sekolah. Kali ini Onyx bersama Hiu dan Suci bercanda bertiga tanpa prasangka. Rambut Suci sudah lurus sepunggung dengan senyum dapat menghilangkan mendung. Mereka tertawa, mereka gembira, tiba-tiba Suci memecah suasana.

“Apa yang kau lakukan?” Tanya Suci menyelidik.

Bibir Hiu menempel cepat di pipi Suci. Mata Suci membelalak, tapi malu. Pandangannya menuju ke Onyx. Di saat inilah Onyx cemburu lalu berlalu. Hiu terlalu! Onyx dan Suci kembali bercengkrama lewat mata.

Saat pertama ke rumah Suci, Onyx sudah buat malu. Menemani Jose ingin kenal dekat Suci. Onyx terlentang tidur depan rumahnya. Lima detik hanya demi menang bertaruh. Selanjutnya bikin malu,

Suci mulai sekolah di ufuk timur, kejadian dua tahun setelah berita seru Jose. Onyx bertemu wanita dengan seragam atasan kuning, bawahan hijau sedang tersenyum. Mereka tidak dipertemukan oleh janji. Pikir Onyx semua sudah ada jalannya. Berbicara arah jalan, tak mungkin matahari akan selalu bersama bulan. Suci selalu jadi matahari, menerangi pagi sampai siang hari. Di malam hari ia bertransformasi berpanjat pada Ilahi.

Di satu malam Dot mengangkat telepon Onyx. Dot adalah nama beken adik Suci. Nama aslinya adalah Rahmat. Onyx juga tidak habis mengerti bagaimana Ayah Suci yang berjualan pusaka bisa menamakan adik wanita Suci menjadi Rahmat.

“Sebentar, aku panggilkan Kak Suci,” sahut Dot.

Ternyata malam itu Suci sedang berpasrah diri. Tiga puluh menit berlalu baru ia kembali. Onyx terhanyut dalam candaan khas tebak-tebakan demi mendengar tawa Suci. Sampai di satu titik Suci berhenti tertawa.

“Aku memang selalu berdoa jika tidak tahu apa yang harus aku lakukan.”

“Memang berdoa bisa dapat jawaban?” Tanya Onyx ingin tahu.

“Nggak juga, tapi senggak-nggaknya diri aku jadi tenang. Coba saja kalau kamu tidak tahu apa yang harus kamu lakukan dan tidak ada jalan, kamu berdoa sungguh-sungguh!”

“Memangnya bisa dikabulkan?”

“Kalau aku berdoa sungguh-sungguh tidak pernah tidak dikabulkan. Tuhan selalu kasih jalan.”

Onyx tidak percaya perkataan Suci. Mana mungkin doa kita selalu dikabulkan? Apa iya dengan berdoa saja dikabulkan? Terlalu religius wanita ini. Menjauhlah Onyx dari Suci, tapi ia lupa kalimat terakhir Suci.

Onyx hanya ingat setiap hari raya, valentine, dan setiap 2 September 1979. Kartu berganti kartu. Kata demi kata. Apa kabarmu? Tak lebih dari itu. Suci tak pandai memilah kata. Ia suka prakarya. Ia mulai bertanya.

“Kamu sedang apa di sini?” Suci memecah keheningan.

“Aku sedang bingung?”

“Bingung kenapa?”

“Ah, nggak apa-apa. Kamu ada acara apa kemari?” tanya Onyx.

“Mau nonton dengan temanku, tapi nggak apa-apa juga aku temanin kamu saja di sini. Muka kamu kusut banget. Rokok kamu sudah seasbak. Pasti kamu butuh teman.”

“Sudah kamu nonton saja, aku nggak apa-apa. Aku cuma mau waktu sendiri.”

Onyx tetap memaksa untuk sendiri. Suci tak pernah tega meninggalkan Onyx bermimpi. Berkali-kali bujukannya ditepis. Ia hanya jawab akan ke Bali.

“Aku akan ke Jepang sebentar lagi.” kata Suci pelan.

“Untuk apa?”

“Mengejar mimpi.”

“Sampai bertemu lagi,” Onyx sedih.

Suci tetaplah matahari yang mempelajari darah bukan untuk kepentingan pribadi. Onyx tetap menjadi bulan takkan pernah karam. Suci menyinari, Onyx tidak sendiri. Onyx memilih bersinar di saat matahari bersembunyi. Ini jalan yang mereka pilih.

Di hari Minggu tanpa ada yang berjanji. Di taman mereka lagi berdiri, Suci dan Onyx saling menyalami. Anak mereka sudah menanti.

“Papi,” teriak Keke.
“Mami,” rengek Rere.

Jakarta, di kantor, 8 April 2016 14:11

No comments: